isbn13 : 9789792245561
Pertama kali saya memiliki buku karangan Chitra
Banerjee Divakaruni adalah The Mistress
of Spices, Penguasa Rempah-Rempah, saya beli sewaktu jaman kuliah dulu, saya
suka cara bertuturnya, membuat saya
tertarik dengan kebudayaan India imigran di Amerika. Buku ke dua adalah
sekarang, setelah sembilan tahun berselang. Jadi ceritanya waktu itu sedang
jalan jalan di sebuah mall di kawasan Bogor,
diantara buku buku bertema vampire
moderen yang sedang booming terlihat nyempil buku bercorak hijau-hitam,
judulnya The PALACE of ILLUSIONS,
Istana Khayalan. Gambar sampulnya biasa saja, tidak eye catching, begitu pula judulnya, gak bikin penasaran atau provokatif,
apalagi waktu baca sinopsis di cover
belakang ‘nyeritain’ Mahabarata, kayaknya ceritanya ‘jadul’, basi banget, lagipula niat awal cuman cari babyboss edisi terbaru. Tapi nama pengarangnya itu yang bikin
penasaran, mungkin bawaan romantisme jaman muda dulu. Akhirnya kejadian deh, seperti
biasa, namanya belanja, mau di mall, pasar, atau toko buku, bawaannya sama,
niat beli satu ujung-ujungnnya beli tiga (malah lebih, gak pernah sadar diri
kalo kantong lagi cekak).
Don’t
judge a book by it’s cover, (sok-sokan
pake bahasa inggris) kira-kira artinya “jangan menghakimi sebuah buku dari
penutupnya.” Lah kok terjemahannya jadi aneh?! Bawa-bawa hakim segala, pake
acara buahnya ditutupin lagi! Pokoknya maksudnya ngerti sendiri lah, tapi bener
banget tuh peribahasa orang bule. Menurut
saya pribadi, buku ini…, Bagus!
Mungkin untuk orang-orang yang beranjak “mapan
dan dewasa” (gak mau dibilang mulai tua), yang waktu kecilnya dimanjakan oleh the one and only saluran televisi yang dimulai jam setengah
enam sore dan dipenuhi oleh acara-acara seru seperti si Unyil, Ria Jenaka yang
super lucu, atau sajian menghibur Dari desa ke desa dan acara Kelompencapir yang legendaris itu, ada saat yang di tunggu
tunggu, event special, yaitu malam tahun baru dimana stasiun
televisi favorit semua orang ini siaran selama 24 jam nonstop, saya ulangi “NONSTOP,” ini artinya selama
siang dan malam tanpa henti, hebat bukan? Rekor yang belum terpecahkan oleh
stasiun televisi manapun hingga saat ini. Betul kan? Saya tidak terlalu yakin, masalahnya sudah
empat tahun terakhir ini saya tidak punya televisi.
Biasanya malam yang istimewa itu diisi oleh
penayangan wayang golek semalam suntuk (mungkin di daerah jawa tengah/timur
yang memiliki stasiun daerah diisi dengan wayang kulit atau wayang orang). Dalang
yang paling kondang waktu itu, dengan tehnik yang sangat canggih mampu
mempertontonkan special effect
mutakhir, membuat boneka-boneka kayu itu dalam suatu adegan pertempuran yang
seru, saat salah satu tokoh punakawa Cepot melakukan serangan combo yang diakhiri sebuah uppercut akurat mengenai ulu hati tokoh
antagonis raksasa berwajah amburadul dan membuatnya memuntahkan mie instant ( bukti kesuksesan marketing hingga pemasaran mie instant bisa menembus pasar kerajaan para
raksasa yang terbiasa memakan manusia sebagai cemilan). Apa yang saya lihat saat waktu masih bocah itu sangat berbekas dan tertanam kuat dalam ingatan saya, ada
pelajaran yang lalu saya ambil, “jangan pernah berangkat ke medan tempur untuk bertarung jika sebelumnya
sarapan mie instant, apalagi kalo harus berhadapan dengan Cepot”.
Kembali ke buku, lakon yang diperankan para
boneka kayu tersebut mengambil sempalan
dari kisah Mahabarata yang mahsyur. Konon katanya cerita ini aslinya
berasal dari daratan Hindustan, dibawa oleh para pedagang dan imigran melalui
perjalanan yang panjang dan melelahkan, dan mungkin dalam khayalan saya diselingi
ancaman perampokan di jalan, tersesat, rintangan alam yang berat, intimidasi
preman lokal (preman jaman sekarang saja udah serem-serem, bayangkan kalo
premannya bertelanjang dada dan pake sanggul mirip Gajahmada), hingga akhirnya
cerita ini sampai ke telinga bangsa Indonesia. Selama perjalanan dan proses
akulturasi dengan kebudayaan lokal, terjadi perubahan, pengurangan, penambahan,
pengembangan dan entah apa lagi yang lainnya, setiap pencerita memiliki
perspektif masing masing terhadap setiap karakter dalam cerita dan mempengaruhi
gaya bercerita.
Walau masih dengan garis merah yang sama, kisah Mahabarata versi Indonesia
memiliki kekhasan sendiri yang baru saya ketahui ternyata sedikit berbeda
dengan versi di India sana, apalagi dalam Istana Khayalan, Chitra Banerjee
Divakaruni menulis kisah ini diri sudut pandang Panchali, yang disini lebih
popular dengan nama putri Dropadi.
Saya sangat terkesan dengan penggambaran
penulis pada tokoh Krishna dan pendeta Drona,
dulu waktu kecil saya tidak menyukai kedua karakter ini. Tapi dalam Istana
Khayalan justru saya jatuh hati pada karakter Krishna, ada sesuatu dalam
penggambaran dirinya yang menarik perhatian saya, dan Drona, kini saya tidak memandangnya sebagai tokoh antagonis,
justru saya menjadi berempati akan kisah alur hidupnya, sebuah pencitraan yang
sukses di uraikan oleh sang penulis.
Waktu kecil, kisah Mahabarata turut mewarnai
dongeng-dongeng yang sering ibu saya ceritakan, sebagai pendongeng yang handal dia
mampu membuat cerita yang lumayan berat ini menarik untuk didengarkan oleh anak
kecil seperti saya sekalipun tanpa
bantuan special effect ala dalang
wayang golek, sama serunya menyaingi
cerita Si Kancil mencuri ketimun. Dari cara ibu saya bercerita, saya mengira karakter
favorit ibu saya adalah Bambang Ekalaya, pemuda tampan dengan bakat memanah
menyaingi Arjuna yang kemudian kehilangan ibu jarinya untuk sebuah bukti
kesetiaan dan pengabdian pada Drona, sayang sempalan kisah dari Mahabarata ini
hanya mendapat porsi sekilas pada buku ini dan sang pemuda bernama Ekalya,
bukan Bambang Ekalaya. Ada
kemiripan phonem antara “Ekalaya” dan “Ekalya”, tapi “Bambang”? dari mana
datangnya Bambang? Saya jadi berandai-andai, jika meninjau jalur penyebaran
agama hindu di tanah air, semestinya melewati Sumatra lalu menyeberangi Selat Sunda,
memasuki tataran pasundaan, baru setelah itu masuk ke daerah jawa, jadi saat
memasuki Indonesia, si Ekalya ini semestinya merubah namanya menjadi uda Faisal
Ekalaya atau Asep Ekalaya dan bukan Bambang Ekalaya!. Ah, tak perlu dianggap
serius, ini bukan esai serius, hanya meracau saja.
Ada hal lain yang unik, di tanah air ini,
Arjuna, Arjuna selalu digambarkan sebagai seorang laki-laki super tampan,
gagah, sakti dan ‘digilai’ perempuan, tak ada yang bisa mengalahkan ketampanannya
(kecuali oleh para surveyor tukang nenteng kaleng tentunya), bahkan untuk
melukiskan ketampanan pangeran dari Hastinapura ini, dalam pementasan wayang
orang, tokoh arjuna sering diperankan oleh aktris wanita. Akan tetapi dalam
buku ini ketampanan Arjuna tidaklah begitu menghebohkan, bahkan kesan yang saya
tangkap dari deskripsi penulis, wajahnyapun tak semulus Coki Sitohang yang
sedang naik daun itu.
Masih banyak lagi perbedaan menarik yang bisa
ditemukan, tapi walau bagaimanapun, semua sah-sah saja, mungkin memang tak
perlu ada pakem yang harus diikuti oleh setiap pendongeng, Arjuna tak perlu
tampan, Duryodana tak perlu jahat, dan Cepot pun tak perlu selalu ada. Maha
karya Byasa ini sudah menjadi milik semua orang, milik dunia yang akan terus
diwariskan pada generasi berikutnya. Yang pasti, bagi saya, dengan buku ini sang
penulis, Chitra Banerjee Divakaruni dengan kemasan cerita yang ‘bercita-rasa’
baru mampu membawa saya bernostalgia ke masa lalu dan merubah perspektif saya
akan kisah Mahabarata. Peran Gita Yuliani K., sang penerjemah benar-benar
sukses mengalih bahasakan buku ini hingga terasa begitu luwes (two thumbs up for you) dan membuatnya
terasa begitu berkesan setelah selesai membacanya, karena tak jarang buku–buku
karya penulis ternama menjadi terasa hambar hanya karena kegagalan dalam penerjemahan
atau pemilihan padanan kata yang tepat.
Bagi pembaca yang mampu bertahan membaca sampai
paragraph ini, sungguh saya salut, Anda tahan berlama-lama menghabiskan waktu berharga
anda untuk bersama tulisan saya yang kehilangan arah dan semakin tidak jelas
juntrungannya, ngelantur kemana-mana memang sudah menjadi ciri khas saya,
memperlihatkan inkonsistensi saya yang begitu konsisten dalam menulis. (MT.Ocean Apex, Ardjuna Marine Terminal Dec 14,
09)
Istana Khayalan, Chitra Banerjee Divakaruni, hal.
35
Suatu hari
seorang anak laki-laki datang berlari-lari sehabis bermain, dan bertanya,”Ibu,
susu itu apa? Kata teman-temanku , susu itu berkrim dan putih dan mempunyai
rasa manis sekali, nomor dua sesudah minuman para dewa? Tolong, Ibu, aku ingin
minum susu.
Si Ibu yang
terlalu miskin untuk membeli susu, mencampurkan sedikit tepung dengan air,
menambahkan gula palem, dan memberikannya kepada si anak.
Anak itu
meminummya dan menari-nari kegirangan, sambil berkata,”Sekarang aku juga tahu
bagaimana rasa susu!”
Dan si ibu,
yang sepanjang hidupnya yang penuh kesengsaraan belum pernah menangis, sekarang
menangis kepercayaan anaknya dan penipuan yang telah dilakukannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar