Selasa, 02 Oktober 2012

The Palace of Illusions (Istana Khayalan), Oleh Chitra Banerjee Divakaruni



Judul     :The Palace of Illusions (Istana Khayalan)
Penulis  :Chitra Banerjee Divakaruni
isbn13  : 9789792245561

Pertama kali saya memiliki buku karangan Chitra Banerjee Divakaruni adalah The Mistress of Spices, Penguasa Rempah-Rempah, saya beli sewaktu jaman kuliah dulu, saya  suka cara bertuturnya, membuat saya tertarik dengan kebudayaan India imigran di Amerika. Buku ke dua adalah sekarang, setelah sembilan tahun berselang. Jadi ceritanya waktu itu sedang jalan jalan di sebuah mall di kawasan Bogor, diantara buku buku bertema vampire moderen yang sedang booming terlihat nyempil buku bercorak hijau-hitam, judulnya The PALACE of ILLUSIONS, Istana Khayalan. Gambar sampulnya biasa saja, tidak eye catching, begitu pula judulnya, gak bikin penasaran atau provokatif, apalagi waktu baca sinopsis di cover belakang ‘nyeritain’ Mahabarata, kayaknya ceritanya ‘jadul’, basi banget, lagipula niat awal cuman cari babyboss edisi terbaru. Tapi nama pengarangnya itu yang bikin penasaran, mungkin bawaan romantisme jaman muda dulu. Akhirnya kejadian deh, seperti biasa, namanya belanja, mau di mall, pasar, atau toko buku, bawaannya sama, niat beli satu ujung-ujungnnya beli tiga (malah lebih, gak pernah sadar diri kalo kantong lagi cekak).
Don’t judge a book by it’s cover, (sok-sokan pake bahasa inggris) kira-kira artinya “jangan menghakimi sebuah buku dari penutupnya.” Lah kok terjemahannya jadi aneh?! Bawa-bawa hakim segala, pake acara buahnya ditutupin lagi! Pokoknya maksudnya ngerti sendiri lah, tapi bener banget tuh peribahasa orang bule.  Menurut saya pribadi, buku ini…, Bagus!
Mungkin untuk orang-orang yang beranjak “mapan dan dewasa” (gak mau dibilang mulai tua), yang waktu kecilnya dimanjakan oleh the one and only  saluran televisi yang dimulai jam setengah enam sore dan dipenuhi oleh acara-acara seru seperti si Unyil, Ria Jenaka yang super lucu, atau sajian menghibur Dari desa ke desa dan acara Kelompencapir  yang legendaris itu, ada saat yang di tunggu tunggu, event special,  yaitu malam tahun baru dimana stasiun televisi favorit semua orang ini siaran selama 24 jam nonstop,  saya ulangi “NONSTOP,” ini artinya selama siang dan malam tanpa henti, hebat bukan? Rekor yang belum terpecahkan oleh stasiun televisi manapun hingga saat ini. Betul kan? Saya tidak terlalu yakin, masalahnya sudah empat tahun terakhir ini saya tidak punya televisi.
Biasanya malam yang istimewa itu diisi oleh penayangan wayang golek semalam suntuk (mungkin di daerah jawa tengah/timur yang memiliki stasiun daerah diisi dengan wayang kulit atau wayang orang). Dalang yang paling kondang waktu itu, dengan tehnik yang sangat canggih mampu mempertontonkan special effect mutakhir, membuat boneka-boneka kayu itu dalam suatu adegan pertempuran yang seru, saat salah satu tokoh punakawa Cepot melakukan serangan combo yang diakhiri sebuah uppercut akurat mengenai ulu hati tokoh antagonis raksasa berwajah amburadul dan membuatnya memuntahkan mie instant ( bukti kesuksesan marketing hingga pemasaran  mie instant bisa menembus pasar kerajaan para raksasa yang terbiasa memakan manusia sebagai cemilan). Apa yang saya lihat saat waktu masih bocah  itu sangat berbekas dan  tertanam kuat dalam ingatan saya, ada pelajaran yang lalu saya ambil, “jangan pernah berangkat ke medan tempur untuk bertarung jika sebelumnya sarapan mie instant, apalagi kalo harus berhadapan dengan Cepot”.
Kembali ke buku, lakon yang diperankan para boneka kayu tersebut mengambil sempalan  dari kisah Mahabarata yang mahsyur. Konon katanya cerita ini aslinya berasal dari daratan Hindustan, dibawa oleh para pedagang dan imigran melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan, dan mungkin dalam khayalan saya diselingi ancaman perampokan di jalan, tersesat, rintangan alam yang berat, intimidasi preman lokal (preman jaman sekarang saja udah serem-serem, bayangkan kalo premannya bertelanjang dada dan pake sanggul mirip Gajahmada), hingga akhirnya cerita ini sampai ke telinga bangsa Indonesia. Selama perjalanan dan proses akulturasi dengan kebudayaan lokal, terjadi perubahan, pengurangan, penambahan, pengembangan dan entah apa lagi yang lainnya, setiap pencerita memiliki perspektif masing masing terhadap setiap karakter dalam cerita dan mempengaruhi gaya bercerita. Walau masih dengan garis merah yang sama, kisah Mahabarata versi Indonesia memiliki kekhasan sendiri yang baru saya ketahui ternyata sedikit berbeda dengan versi di India sana, apalagi dalam Istana Khayalan, Chitra Banerjee Divakaruni menulis kisah ini diri sudut pandang Panchali, yang disini lebih popular dengan nama putri Dropadi.
Saya sangat terkesan dengan penggambaran penulis pada tokoh Krishna dan pendeta Drona, dulu waktu kecil saya tidak menyukai kedua karakter ini. Tapi dalam Istana Khayalan justru saya jatuh hati pada karakter Krishna, ada sesuatu dalam penggambaran dirinya yang menarik perhatian saya, dan Drona,  kini saya tidak memandangnya sebagai tokoh antagonis, justru saya menjadi berempati akan kisah alur hidupnya, sebuah pencitraan yang sukses di uraikan oleh sang penulis.
Waktu kecil, kisah Mahabarata turut mewarnai dongeng-dongeng yang sering ibu saya ceritakan, sebagai pendongeng yang handal dia mampu membuat cerita yang lumayan berat ini menarik untuk didengarkan oleh anak kecil seperti saya  sekalipun tanpa bantuan special effect ala dalang wayang golek,  sama serunya menyaingi cerita Si Kancil mencuri ketimun. Dari cara ibu saya bercerita, saya mengira karakter favorit ibu saya adalah Bambang Ekalaya, pemuda tampan dengan bakat memanah menyaingi Arjuna yang kemudian kehilangan ibu jarinya untuk sebuah bukti kesetiaan dan pengabdian pada Drona, sayang sempalan kisah dari Mahabarata ini hanya mendapat porsi sekilas pada buku ini dan sang pemuda bernama Ekalya, bukan Bambang Ekalaya. Ada kemiripan phonem antara “Ekalaya” dan “Ekalya”, tapi “Bambang”? dari mana datangnya Bambang? Saya jadi berandai-andai, jika meninjau jalur penyebaran agama hindu di tanah air, semestinya melewati Sumatra lalu menyeberangi Selat Sunda, memasuki tataran pasundaan, baru setelah itu masuk ke daerah jawa, jadi saat memasuki Indonesia, si Ekalya ini semestinya merubah namanya menjadi uda Faisal Ekalaya atau Asep Ekalaya dan bukan Bambang Ekalaya!. Ah, tak perlu dianggap serius, ini bukan esai serius, hanya meracau saja.
Ada hal lain yang unik, di tanah air ini, Arjuna, Arjuna selalu digambarkan sebagai seorang laki-laki super tampan, gagah, sakti dan ‘digilai’ perempuan, tak ada yang bisa mengalahkan ketampanannya (kecuali oleh para surveyor tukang nenteng kaleng tentunya), bahkan untuk melukiskan ketampanan pangeran dari Hastinapura ini, dalam pementasan wayang orang, tokoh arjuna sering diperankan oleh aktris wanita. Akan tetapi dalam buku ini ketampanan Arjuna tidaklah begitu menghebohkan, bahkan kesan yang saya tangkap dari deskripsi penulis, wajahnyapun tak semulus Coki Sitohang yang sedang naik daun itu.
Masih banyak lagi perbedaan menarik yang bisa ditemukan, tapi walau bagaimanapun, semua sah-sah saja, mungkin memang tak perlu ada pakem yang harus diikuti oleh setiap pendongeng, Arjuna tak perlu tampan, Duryodana tak perlu jahat, dan Cepot pun tak perlu selalu ada. Maha karya Byasa ini sudah menjadi milik semua orang, milik dunia yang akan terus diwariskan pada generasi berikutnya. Yang pasti, bagi saya, dengan buku ini sang penulis, Chitra Banerjee Divakaruni dengan kemasan cerita yang ‘bercita-rasa’ baru mampu membawa saya bernostalgia ke masa lalu dan merubah perspektif saya akan kisah Mahabarata. Peran Gita Yuliani K., sang penerjemah benar-benar sukses mengalih bahasakan buku ini hingga terasa begitu luwes (two thumbs up for you) dan membuatnya terasa begitu berkesan setelah selesai membacanya, karena tak jarang buku–buku karya penulis ternama menjadi terasa hambar hanya karena kegagalan dalam penerjemahan atau pemilihan  padanan kata yang tepat.
Bagi pembaca yang mampu bertahan membaca sampai paragraph ini, sungguh saya salut, Anda tahan berlama-lama menghabiskan waktu berharga anda untuk bersama tulisan saya yang kehilangan arah dan semakin tidak jelas juntrungannya, ngelantur kemana-mana memang sudah menjadi ciri khas saya, memperlihatkan inkonsistensi saya yang begitu konsisten dalam menulis.            (MT.Ocean Apex, Ardjuna Marine Terminal Dec 14, 09)


Istana Khayalan, Chitra Banerjee Divakaruni, hal. 35
Suatu hari seorang anak laki-laki datang berlari-lari sehabis bermain, dan bertanya,”Ibu, susu itu apa? Kata teman-temanku , susu itu berkrim dan putih dan mempunyai rasa manis sekali, nomor dua sesudah minuman para dewa? Tolong, Ibu, aku ingin minum susu.
Si Ibu yang terlalu miskin untuk membeli susu, mencampurkan sedikit tepung dengan air, menambahkan gula palem, dan memberikannya kepada si anak.
Anak itu meminummya dan menari-nari kegirangan, sambil berkata,”Sekarang aku juga tahu bagaimana rasa susu!”
Dan si ibu, yang sepanjang hidupnya yang penuh kesengsaraan belum pernah menangis, sekarang menangis kepercayaan anaknya dan penipuan yang telah dilakukannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar