Selasa, 16 Desember 2014

Travel with Heart, perjalanan menyusuri sudut-sudut dunia. Oleh Mary Sasmiro



Judul : Travel with Heart, perjalanan menyusuri sudut-sudut dunia.
Penulis : Mary Sasmiro
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978 979 22 9349 4

Sebelumnya saya pernah mengulas buku Mary Sasmiro ”Explore, Eat, Enjoy” yang saya kurang tanggapi dengan positif, buku yang memang merupakan koleksi milik istri saya dan ternyata juga memiliki koleksi  karya Mary Sasmiro lainnya. Ternyata lagi dia adalah penggemar tulisan Mary Sasmiro.

Buku ini telah terbit sebelum Explor, Eat, Enjoy, sedari awal memang mengambil film sebagai referensi adalah gaya khas Mary Sasmiro. Mungkin dulu saya setengah bersungut saat dia mulai membandingkan tempat yang dikunjunginya dengan film yang pernah dia tonton, sekarang saya lebih bisa mentolerir, saya hargai kejujurannya untuk menjadi diri sendiri dengan tulus saat menulis.

Dalam buku ini  Mary mengajak berkeliling eropa, asia timur dan di dalam negeri sendiri (Indonesia), melihat keunikan setiap kota dari sudut pandangnya, dengan lamunan-lamunannya yang tak terkontrol dan sering datang tiba-tiba dalam momen-momen tertentu, tentu saja yang berhubungan dengan sebuah adegan film.

Tanpa ragu Mary meluapkan emosinya saat berada di tempat-tempat yang berkesan khusus baginya, sangat ekspresif dan jujur, kadang bahkan dia sendiri melihatnya sebagai tingkah norak, dan dia tidak keberatan dianggap  norak. Itulah yang merubah perspektif saya menjadi lebih respek akan tulisannya. Mungkin disaat yang sama saya malah akan lebih berlaku norak lagi atau bahkan kampungan. Untuk sementara ini, karena belum bisa bertravel ria seperti Mary, saya hanya bisa nyengir saat membaca polahnya.

Di sampul belakang buku tertulis “Mary Sasmiro mengajak pembaca menikmati perjalanan tak hanya dengan mata, namun dengan hati”, maka saya tambahkan, Mary juga mengajak menikmati perjalanan dengan imajinasi.

Rabu, 10 Desember 2014

Mimpi-mimpi Einstein oleh Alan Lightman



Judul : Mimpi-mimpi Einstein (Judul asli Einstein’s Dreams)
Penulis : Alan Lightman
Penerjemah : Yusi Avianto Pareanom
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),  cetak pertama juli 1999
ISBN : 979 9203 31 9
154 hlm; 14cm x 20 cm

Apa jadinya jika fisikawan, seorang dosen MIT menulis sebuah fiksi? Alan Lightman menuangkan gagasan Einstein tentang waktu, menerjemahkan dalam bahasa sederhana nan puitis. Berbagai probabilitas dan konsekuensi  “bagaimana jika” untuk setiap teori tentang hakikat waktu dalam tiga puluh cerita pendek.

Andaikata waktu adalah suatu lingkaran yang mengitari dirinya sendiri, atau seperti aliran air. Bagaimana jika waktu adalah dimensi lain setelah ruang, membentuk dunia yang parallel. Bagaimana jika waktu bergerak lebih lama di ketinggian, di tempat yang semakin jauh dari inti bumi. Bagaimana jika waktu adalah sesuatu yang mutlak dan bagaimana jika relativ. Bagaimana jika dunia tanpa waktu, jika waktu tanpa ingatan dan kenangan, jika waktu tidak mengalir utuh melainkan datang dalam kepingan.

Di 14 Mei 1905 Einstein “bermimpi” seandainya waktu berkelana dalam lingkaran dengan satu titik pusat, menjauh dari pusat, dan perlahan waktu akan memunguti kecepatan yang bertambah besar bila diameternya bertambah besar pula, maka saya berpikir, semakin jauh dari inti semakin cepat waktu bergulir, semakin mendekat ke inti semakin lambat dan pada akhirnya, dalam inti, dalam sumber asal waktu, waktu berhenti, disanalah kebadaian berada. Saya berpikir lagi, kita yang begitu jauh dari inti bergerak begitu cepat, benarkah begitu? Bagaimana  dengan mimpi Einstein yang lain di 29 Mei 1905?

29 Mei 1905 Einstein “bermimpi”, bagaimana bila waktu berlalu lebih lambat bagi orang-orang yang bergerak cepat, hal ini membuat saya berandai saat membacanya, dari “mimpi” semacam inilah teori relativitas mulai terbangun. Lightman mengilustrasikan “paradox kembar” dari Einstein dalam perspektif si kembar yang tinggal di bumi dan bagaimana dia melihat kehidupan seperti yang dijalani saudara kembarnya yang bergerak dalam kecepatan cahaya (di sini hanya dilukiskan dalam kecepatan yang sangat tinggi). Bagaimana waktu kehilangan absolutismenya dan menjadi relativ. Maka bila kita merubah kerangka acuan, kita yang berada jauh diluar sumber inti waktu merasa waktu berjalan normal dan yang berada di inti sumber waktulah bergerak sangat cepat, saking cepatnya hingga waktu melambat hingga kekal, abadi.  Renungan saya berarah pada firman Allah, sungguh teori relativitas waktu ini berkesesuaian.

"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu." (Al Qur'an, 32:5)

"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun." (Al Qur'an, 70:4)

"Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka menjawab: 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman: 'Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui'." (Al Qur'an, 23:122-114)

Bab selanjutnya Lightman berandai, bagaimana jika di dunia ini waktu berjalan mundur, jika manusia tak terikat waktu. Andai waktu adalah soal kualitas dan bukan kuantitas. Beranda dalam dunia yang waktu adalah garis lurus yang berakhir pada masa kini, baik dalam kenyataan maupun pikiran. Dunia yang di dalamnya waktu adalah sesuatu yang tidak kontinyu, merenggang, terpisah rangkaiannya bagai pita film. Juga bagaimana bila waktu tidak bersifat cair, tanpa bisa memberi jalan bagi semua kemungkinan, atau seperti cahaya diantara dua cermin, memantul ke depan dan kebelakang menghasilkan bayangan.

Uraian Lightman akan “mimpi-mimpi Einstein ini sungguh memukau saya, sederhana sekaligus pelik, puitis juga informative. Dia mampu menjelaskan dengan indah bahwa fenomena fisik adalah relative satu sama lain, mereka tidak independen dan tidak juga absout. Bahwa waktu hanya eksis saat hadirnya gerakan.


Mimpi-mimpi Einstein hal. 98
“Orang yang tidak dapat membayangkan masa depan adalah sosok yang tidak mampu merenungkan akibat perbuatannya” _Alan Lightman.

Selasa, 25 November 2014

The Pursuit of Happyness oleh Chris Gardner



Judul : The Pursuit of Happyness (original title The Pursuit of Happyness)
Penulis : Chris Gardner
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Maret 2014
ISBN13 : 9786020302201
Edisi : Bahasa Indonesia
Paperback, 450 halaman


Sungguh kultur dan religi berpengaruh banyak dalam menilai kisah ini, di mata saya buku ini menjadi sebuah biografi penuh penindasan, kekerasan, amarah dan dendam. Bagaimana tidak, berimajinasi dan merancang sebuah usaha pembunuhan untuk ayah tiri diusia belum genap 8 tahun (hal. 58), rencana yang bukan sekedar angan tapi juga berusaha diwujudkannya (hal. 150). Sementara seumur itu saya masih membayangan bergabung dengan Google V. Perjalanan hidup yang penuh dendam, penulis menyimpan amarahnya dengan baik bahkan hingga 40 thn kemudian (hal.116) walau memang Chris Gardner mampu mengkonversi dendamnya menjadi elemen pendorong kesuksesannya, tapi saya berpendapat bahwa dendam bukanlah bahan bakar yang baik untuk motivator sebuah kesuksesan. Belum lagi kebiasaan memberikan komentar sarkastis yang menular dalam keluarga, kebiasaan yang walau dengan disadari keburukannya tetap menjadi sulit dihindari untuk tertular karena lingkungan (Hal. 121)

Satu hal yang bisa menjadi contoh adalah Chris Gardner merupakan seorang yang benar-benar memiliki determinasi, apapun rintangannya, dia sangat fokus pada tujuan, tak pernah gentar untuk keluar dari zona nyaman dan terpuruk. Dan yang tidak kalah menentukan keberhasilannya adalah kemauan dan kemampuan untuk belajar hal baru dengan tekun.

Sepertinya ia ingin dengan jelas memperlihatkan pada pembaca transformasi yang telah dilakukannya, dengan berlama-lama berkisah di masa kecilnya, yang menurut saya membuat buku ini menjadi beralur lamban dan sedikit membosankan. Chris Gardner merasa tumbuh dan berada di tepat yang tidak sesuai dengannya, bagaikan sebuah persegi dalam lubang berbentuk lingkaran. Tapi jalan hidup Gardner menunjukan seberapapun sulitnya rintangan yang tampak menghalangi di jalan hidup ini, dia harus terus maju dan menjalaninya dan rintangan akan terbuka setelah mencoba menempuh setapak itu dan Gardner pun menemukan relung yang paling pas untuknya, menemukan lubang persegi untuk dirinya.

Senin, 24 November 2014

Penemuan Madu oleh Riska Aryati



Judul : Penemuan Madu
Penulis : Riska Aryati
Penerbit : Elex Media Komptindo
ISBN : 979 20 8675 7

Tidak ada keterangan segmentasi buku ini, tapi dari formatnya yang menggunakan box story menyerupai komik, full illustrasi yang sangat sederhana, mungkin buku diperuntukan untuk anak kisaran 5-7 tahun, walau secara materi menurut saya isinya cukup berat, bukan sekedar cerita sederhana mengenai kehidupan lebah tapi hingga mengulas komposisi, kandungan kalori dan hal teknis lain yang menurut saya akan sulit dipahami oleh anak.  Tapi karena ilustrasinya yang sangat sederhana itu justru anak saya yang masih toddler malah suka minta dibacakan buku ini sebelum tidur, walau materinya terpaksa saya ganti menjadi fabel yang sederhana dan menyesuaikan dengan rentetan illustrasinya.

Jadi apapun komentarnya, buku ini tetap layak mendapat apresiasi atas itikad dan usahanya.

Kamis, 20 November 2014

Your job is not your career by Rene Suhardono



Judul : Your job is not your career
Penulis : Rene Suhardono
Penerbit : Literati Book
lSBN : 978 602 87 40
ISBN 13 : 978  602 8740 26 5

Rene meredefinisikan kembali makna "job" dan "career", mencoba membongkar pemahaman umum di masyarakat dari dua kata tersebut dan memberinya arti baru (atau membangkitkan makna sesungguhnya yang lama terpendam) dengan melihat kedalam diri sendiri untuk menemukan jati diri kita sesungguhnya, fitrah setiap pribadi yang unik dan menggunakannya sebagai alat utama untuk meraih kesuksesan tidak hanya dalam dunia profesional melainkan kesuksesan yang hakiki dalam hidup, yaitu tidak lain adalah kebahagiaan.

Sepertinya, empat tahun yang lalu, saya berdiri tertegun di sebuah toko buku saat membaca sampul belakang buku ini, karena perut saya selalu mules setiap telepon berdering, membayangkan tugas berikutnya dari kantor, tepat seperti hendak masuk sumur.

Bukan maksudnya menjadika review ini menjadi curcol tapi kini, saya sudah berpindah tempat kerja, sebuah manuver redjusting down tepatnya, masih jauh dari passion yang sampai saat ini pun masih dalam proses pencarian (pengukuhan keyakinan). Dengan mengorbankan (sebagian) income, dipihak lain work life balance sekarang lebih masuk akal dan manusiawi, beberapa kegelisahanpun telah terjawab. Yang pasti, saya memiliki sumberdaya terpenting untuk menelusuri passion, purpose of life dan value hidup saya, yaitu waktu.