Jumat, 28 Juni 2013

Srimulat. Aneh yang Lucu, Oleh Sony Set & Agung Pewe

Judul         : Srimulat Aneh yang Lucu
Penulis      : Sony Set & Agung Pewe
Penerbit    : Metagraf
ISBN       : 978-602-98553-3-3
Xvi, 228 hal.; 20 cm

Untuk generasi seumuran saya atau sebelumnya, nama srimulat tidaklah asing. Jika kita (saya) melihat tayangan komedi di televisi sekarang ini, bagaimana OVJ yang sedang booming atau stand up comedy yang sedang tumbuh dan  membangun diri di ranah televisi, selalu ada kilas adegan dari bagian pentasnya yang mengingatkan kita pada Srimulat. Tidak mengherankan, Srimulat telah membangun pondasi yang kokoh dan pakem untuk dunia komedi indonesia.

Dinamai sesuai nama pendirinya, R. A. Srimulat, seorang putri dari keluarga ningrat di kota Solo.  Srimulat mampu melewati masa penjajahan dan era perang perjuangan kemerdekaan. Bertahan di masa revolusi yang berdarah darah, mampu turut hadir ketika tayangan televisi pertamakali muncul di republik ini dan tetap eksis di era 90-an, saat televisi swasta merajai  dunia hiburan masyarakat. Saya mengamini apa yang dikatakan penulis bahwa Srimulat adalah sebuah perjalanan budaya, sejarah komedi Indonesia.

Dalam buku ini diceritakan kisah muasal bagaimana srimulat terbentuk, diawali oleh jiwa muda R. A. Srimulat yang berontak pada lingkungaan yang mengungkungnya dan kemudian menuntunnya pada dunia seni dan pertemuannya dengan Teguh Slamet Rahardjo. Sangat menarik bagaimana sepak terjang duo R. A. Srimulat dan Teguh dalam menukangi Srimulat, R. A. Srimulat yang penuh misteri beraroma spionase dan Teguh yang visioner. Tidak luput transformasi Srimulat dari pertunjukan seni menjadi  komedi, dan tentu para tokoh yang tumbuh,  berkembang dan menjadi ikon Srimulat dari masa kemasa.

Anda (sepertinya) tidak akan terbahak-bahak membaca buku ini, mungkin senyuman kecil saja, tapi, jika ada sedikit kerinduan akan komedi yang santun tanpa harus menuai kontroversi akibat celetukan celetukan pemainnya yang tidak terkontrol dan berujung tuntutan hukum. buku ini layak anda baca.

Kamis, 13 Juni 2013

Rumah kopi singa tertawa oleh Yusi Avianto Pareanom

Judul        : Rumah kopi singa tertawa
Penulis     : Yusi Avianto Pareanom
Penerbit   : Banana
ISBN      : 978-978-1079-26-6
172 Hal


Gaya bercerita dan diksi Yusi Avianto Pareanom benar-benar satu jurusan dengan selera saya. Cerita pendek pertama "Cara-cara mati yang kurang aduhai" langsung menggedor selera untuk membaca, dan ke enam belas cerita lain yang mengikutinya bisa dikatakan membuat Yusi Avianto Pareanom instant menjadi penulis fiksi favorit. Andai saja saya bisa menyukai "Kabut Suami" mungkin buku ini mendapatkan lima bintang goodread.

Rata-rata, diawal cerita, (saya) tidak bisa tertebak kemana cerita akan berarah. seperti di "Tiga lelaki dan seekor anjing yang berlari" siapa nyana cerita akan mengarah ke pertanyaan di paragraf awal tulisan, sebuah premis yang diutarakan langsung oleh sang tokoh cerita dan kita harus menunggu hingga paragraph di akhir cerita untuk menyadarinya. "Sengatan Gwen" pun berpola sama, akhir cerita memaksa alis (saya) naik tiba-tiba.

Dibeli di Gramedia bandung November dua tahun yang lalu, Perhatian saya sempat teralihkan buku baru lain sebelum selesai membaca buku ini seluruhnya dan lalu terlupakan.

"Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekedar makan dan tidur sebelum disembelih," kata Loki Tua waktu itu._hal  49 dan novel Raden MAndasia si pencuri Daging Sapi resmi menjadi buruan saya.

Sabtu, 01 Juni 2013

The Secret Life of Bees oleh Sue Monk Kidd

Judul           : The Secret Life of Bees
Penulis        : Sue Monk Kidd
Penerbit      : Gagas Media
Penerjemah : Endang Sulistyowati
ISBN          : 979-780-600-6
xiv + 414 hlm; 14x20 cm


Dengan setting musim panas di Carolina Selatan, Lilly Owns, seorang gadis remaja yang kehilangan ibunya semenjak berusia empat tahun harus tinggal bersama ayahnya yang dipenuhi kemarahan dan menghabiskan masa remajanya dengan sebuah tanda tanya besar. Sebuah peristiwa rasis yang menimpa pengasuhnya yang berkulit hitam, Rosaleen, merubah jalan hidupnya pada perjalanan pencarian jawaban dan proses penyembuhan jiwa.

Bermodal petunjuk patung bunda maria berkulit hitam, pelarian Lilly Owen mengarahkan dirinya ke sebuah rumah bercat merah muda milik tiga bersaudara dimana disana dia menemukan jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang menghantuinya. Disana pula dia menyadari dan menemukan sosok ibu pada diri perempuan-perempuan yang justru tidak pernah menjadi ibu dalam artian harfiah. Sejatinya selalu ada sosok ibu dalam diri setiap wanita, tanpa perlu melewati proses hamil dan memiliki anak.

Di awal membaca buku ini, entah mengapa, saya memiliki sedikit simpati pada sosok T. Ray. Ayah dari Lilly Owns.Jauh sebelum penulis mengungkapkan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh sang ayah, saya kok bisa merasakan kehilangan yang dia alami. Rasa  frustasi, kesedihan dan kemarahan yang menyesatkannya. sepanjang membaca, saya tidak merasakan kebencian pada karakter ini yang sebenarnya sudah dibuat sebegitu menyebalkan, sebaliknya, saya sedikit berharap di akhir cerita, akan ada perubahan pada sikapnya.

Latar belakang tahun 1964 di Amerika yang masih rasis dan undang-undang hak sipil yang membuat pergejolakan di masyarakat memang dialami sendiri oleh penulis, tetapi riset yang dalam tentang kehidupan lebah dan menghubungkannya dengan cerita sungguh menarik, begitu juga kutipan-kutipan yang diambil penulis dari sumber pustakanaya memembuat saya kagum.