Kamis, 16 Januari 2014

Rijsttafel - Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 oleh Fadly Rahman



Judul              : Rijsttafel - Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942
Penulis           : Fadly Rahman
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama diterbitkan tahun 2011
ISBN13        : 9789792266719
140 pages, edisi bahasa Indonesian

Melompat dari kejamakan buku-buku sejarah yang saya baca sebelumnya yang berkutat tentang perang dan kekuasaan yang berdarah-darah, buku ini memilih untuk melihat sejarah dari sudut pandang yang berbeda, dari persfektif budaya kuliner yang berkembang di tanahair pada kisaran pertengahan abad 18 hingga abad 19.

Sesuai dengan tujuan awalnya,  dari sebuah penelitian untuk tugas akhir pendidikan dari si penulis, buku ini memiliki analisa dan riset yang mendalam. Mengulas secara detil dan komprehensif mengenai salah satu budaya indis yang mungkin sudah terlupakan, yaitu Rijsttafel, warisan hasil akulturasi budaya kolonialisme dangan kultur lokal yang saling melarut. Budaya yang bisa dibilang kontemporer, karena walaupun proses asimilasi ini dimulai sejak abad 16, mulai eksis di pertengahan abad 18 dan sudah bertahan selama satu abad juga sangat dicintai orang belanda (hal. 86) pada akhirnya  harus berakhir bersamaan dengan habisnya era kolonialisme di tanahair.

Proses  pencampuran budaya ini tidak bisa dibilang mudah, kultur dan alam yang saling bertolak belakang antara barat dan timur cukup menghambat prosesnya, seperti terlihat pada terjemahan yang lakukan oleh E.W.K. Steinmentz untuk bukunya Onze Rijsttafel (hal 97), para meneer belanda ini cukup kesulitan dalam menerjemahkan dan menemukan padanan arti dari berbagai jenis bahan makanan nusantara, seperti kencur, laos, kunci, mereka hanya mampu mendeskripsikannya dengan wortelsoort (sejenis akar) saja.

Tanpa hingar-bingar seperti pada masa jayanya, sisa-sisa tradisi Rijsttafel ini, walau dengan sunyi, masih bisa ditemukan dalam budaya kuliner Indonesia saat ini, menyelusup dalam  acara kenduri, dalam tata cara dan peralatan makan kita, dalam resep-resep dan nama-nama makanan, yang sangat besar kemungkinan tidak kita ketahui bahwa muasalnya berasal dari budaya rijsttafel yang berusia seabad yang lalu, sisa-sisa budaya indis yang tersisa. Jadi saat kita sangat suka semur jengkol dan merasa bangga akan kecintaan kita pada budaya kuliner asli bangsa ini, kita mungkn sudah salah kaprah, karena sepertinya hampir tidak ada lagi orisinalitas yang tersisa pada zaman ini.

Sabtu, 11 Januari 2014

Kisah dan Khasiat Teh oleh Ratna Somantri dan Tanti K


Judul               :    Kisah dan Khasiat Teh
Penulis            :    Ratna Somantri, Tanti K
Penerbit           :    Gramedia Pustaka Utama
ISBN 13         :    9789792267327

Buku ini membuka cakrawala pengetahuan saya akan teh yang semula hanya sebatas teh seduh dan teh celup saja. Saya baru tahu bahwa pembeda utama dari berbagai macam jenis teh hanya dari cara pengolahannya Semula saya pikir antara teh hijau, teh seduh biasa, teh kuning, teh Oolong, Matcha adalah jenis tumbuhannya, bahkan saya baru tahu kalau ada yang namanya teh pu erh, saya jadi ingat waktu membaca “Sky Burial” dan “Escape Over the Himalaya”, saya penasaran dengn yang namanya teh mentega yang diceritakan sebagai minuman khas Tibet, saya iseng coba-coba di dapur dengan mencampur teh dengan mentega yang hasilnya tak karuan, pantas saja, seharusnya saya menggunakan jenis teh pe erh ini.

Ratna Soemantri, yang sepertinya saya pernah baca profilnya di Koran harian, mengajak pembaca untuk mengenal seluk-beluk teh lebih dalam lagi, dimulai dari sejarah, perkembangannya hingga mendunia, ragam dan jenis teh itu sendiri dan hal-hal lain yang berkenaan dengan teh.

Dikemas dalam format buku yang cantik dengan ilustrasi yang menggoda, buku ini mampu mengajak saya untuk keluar dari zona jenis bacaan saya, mungkin di halaman-halaman terakhir yang mengurai beberapa resep kue yang menggunakan teh memang saya hanya baca sepintas lalu saya skip,  tapi tidak berarti menilainya tidak menarik, hanya saja saya memang tidak berniat untuk belajar membuat teh.

Minggu, 05 Januari 2014

Animal Farm oleh George Orwell



Judul                 : Animal Farm
Penulis              : George Orwell
Penerjemah       : J. Fransisca
Penerbit            : Fresh Book
207 halaman,




 
Sudah sejak tujuh tahun lalu saya memiliki buku ini, entah berapa kali saya mengulang membacanya,  random hanya pada sebagian tertentu  saja, atau  dari awal sampai akhir lagi. Saya suka mulai dari jalan cerita, gaya bertutur maupun penokohannya. Sederhana, tapi memiliki kedalaman arti. Oleh karena itu, awal tahun ini saya kembali membaca dan menulis sudut pandang saya akan buku ini.

Bagi saya, “Animal Farm” lebih menyerupai parodi kehidupan manusia daripada sekedar sebuah fabel. Parodi saat kehidupan berputar dan sejarah berulang, dimana  rezim bangkit dan runtuh setiap harinya. 

Dengan sapaan kamred, dengan slogan-slogan propaganda, entah memang itu tujuan George Orwell atau tidak, pikiran saya langsung terasosiasi dengan penggulingan Ciang kaisek dan terbentuknya RRC atau pada revolusi Bolshevik, atau bahkan mungkin bisa dimiripkan dengan sejarah bangsa ini. Pengultusan sang pemimpin, pemberian penghargaan pada dirinya sendiri sebagai sang pemimpin dengan bintang-bintang kehormatan, pemutarbalikan fakta, pengkaburan sejarah,  mengingatkan saya pada kisah yang melibatkan sosok  Mao atau Stalin, atau bahkan beberapa tokoh sejarah di negeri ini, atau memang dimanapun sejarah selalu serupa, suram dan menyesakan.

Selalu ada titik balik setelah penindasan yang begitu lama, saat secara serentak rakyat berontak untuk menggulingkan tiran. Sekali lagi, Animal farm adalah sebuah parodi, pertanian Manor dan tuan Jones adalah simbol-simbol tiran. Diawali dari sebuah visi si Mayor tua, babi hutan dalam buku ini. Lalu visi itu manjadi api yang menyulut perubahan, berkembang menjadi sebuah pencerahan dan pergerakan untuk menentukan nasibnya sendiri. Tapi kemerdekaan meminta tebusan dengan harga yang mahal, sebagaimana perubahan rezim dimanapun didunia ini, revolusi selalu memakan anak-anaknya sendiri, dan saat semua terwujud, kemerdekaan itu tidak semanis yang dibayangkan. Justru penindasan kembali terjadi dan tiran baru telah lahir.

Mungkin kita melihat semangat si Mayor tua dalam diri tokoh-tokoh dunia yang dengan visinya mengubah arah sejarah, dan lebih banyak lagi yang menyerupai Napoleon dan Snowball sebagai tokoh dan tumbal revolusi. Sisanya adalah kita, domba-domba penurut, Boxer kuda yang naïf atau Benjamin si keledai yang skeptis.

Mungkin penindasan tidak akan pernah selesai, mengikuti roda jaman, carut marut politik dengan babi-babi rakusnya yang korup akan selalu ada, memikirkannya saja meletihkan, tapi tak perlu kita jengah, jalani saja peran kita sebaik-baiknya, menjadi diri kita yang sesungguhnya, “Régime rise and fall every day, why should we worry.”

Kamis, 02 Januari 2014

Kaledoskop 2013



Rada telat  karena ada tanker LNG naik pas tahun baru, takapalah, daripada tidak sama sekali.

Dalam kurun waktu satu tahun di 2013 hanya 21 buku yang berhasil saya baca,  itupun termasuk dua grafik novel dan dua buku anak yang bisa selesai dibaca kurang dari lima menit. Enam buku dengan empat bintang, tiga buku dengan dua bintang dan sisanya mendapat tiga bintang. Jenis buku saya rasa lumayan beragam untuk ukuran saya, tiga self help, dua buku anak, dua grafik novel, tiga travela atau  biografi/sejarah dan sisanya novel, cukup seimbang antara novel dan non novel. Sementara Moby Dick, Menulis itu indah, dan Life Traveler masih meninggali rak buku bagian yang tidak terselesaikan.
Karena reading challenge 2012 yang terpenuhi dengan mudah dengan menset gol di 12 buku atau membaca satu buku setiap bulannya, maka tahun 2013 saya lipatduakan menjadi 24 buku dalam satu tahun.  Sebenarnya karena tahun 2013 lebih banyak penugasan di papua yang berarti lebih banyak waktu luang untuk membaca, seharusnya target itu mudah dipenuhi, dilihat hanya  dua buku setiap bulan, kelihatannya ini adalah target yang realistis, tapi ternyata hasil tidak sesuai dengan yang direncanakan. Kalau dilihat dari data statistik, dari 440,049 partisipan, hanya 16,082 saja yang terpenuhi, atau berarti hanya 3.7% partisipan yang berhasil memenuhi target yang ditetapkannya, sementara ratus ribuan partisipan lainnya (termasuk saya) hanya sebagai penggembira saja.
Untuk tahun 2014 ini, semula saya akan menargetkan 18 buku saja. Cukup masuk akal, karena tahun 2012 saya membaca 15 buku dan tahun 2013 saya membaca 19 buku diluar buku anak-anak. Tapi setelah dipikir ulang, kok sepertinya pesimis sekali. Saya ingin tetap optimis sekaligus realistis, maka kembali, tahun ini saya memutuskan untuk menargetkan 24 buku. 
Pinginnya di 2014 ini saya bisa lebih aktif untuk ikut kegiatan-kegiatan di BBI, tapi memang saya lumayan gaptek, suka bingung sendiri kalau pengen ikutan acara seperti secret santa atau yang lainnya.