Kamis, 28 Juli 2016

Great Expectation, oleh Charles Dickens



Judul              : Great Expectation
Penulis           : Charles Dickens
Penerjemah    : Berliani Mantili Nugrahani dan Miftahul Jannah
Penerbit         : Qanita, 2015
ISBN             : 978 602 1637 68 5
692hlm.; 20,5cm




Novel klasik dengan cirinya yang detail dan alur lambat yang khas. Saya tidak menemukan diksi yang memikat, mungkin akan berbeda jika membaca karya asli dan bukan terjemahan. Tapi membaca 692 halaman berbahasa inggris adalah tantangan yang sulit ditaklukan buat saya
.
‌Saya berandai, mungkin premis Charles Dickens saat menulis novel ini adalah "bagaimana pengaruh sebuah pengharapan pada manusia" atau "apa yang terjadi jika manusia terlalu terobsesi hingga dirinya dikuasai oleh pengharapannya yang terlalu besar." Apa yang salah dengan memiliki pengharapan? bukannya wajar saja jika menginginkan hidup lebih makmur atau mengidamkan istri yang cantik seperti yang diidamkan Pip? yang saya lihat dari hidup Pip hanyalah dia terlalu terlena saat mendapat harta yang banyak, selain itu dia hanya menjadi korban, objek penderita dan pemuas obsesi orang lain. Begitu pula Estella, dia hanya menjadi boneka yang siap dikorbankan.

Dari kacamata saya, dalam novel ini pengharapan besar "great expectation" bukan hanya dimiliki si tokoh utama Pip yang mengidamkan hidup di kasta lebih tinggi atau pengharapannya pada sosok Estella, tetapi juga pada nona Havisham dan Provis. Pengharapan yang begitu besar hingga mengorbankan hidup mereka, bahkan mengorbankan hidup orang-orang disekeliling mereka. Nona Havisham yang diliputi dendam begitu terobsesi pada keinginannya menyakiti semua laki-laki bahkan hingga menitipkan obsesinya pada Estella. Begitu pula Provis, tidak hanya berniat membalas kebaikan Pip tapi sekaligus menaruh pengharapan yang besar pada pundaknya.

Dilain pihak, Charles Dickens memberikan Joe dan Biddy sebagai contoh orang-orang yang terbebas dari pengharapan, hidup dengan bebas tanpa terbebani segala keinginan duniawi. Mereka dapat tulus mencintai dan memberi.

Rabu, 20 Juli 2016

Moby –Dick, Retold from the Herman Melville original, oleh Kathleen Olmstead



Judul          : Moby –Dick, Retold from the Herman Melville original
Penulis       : Kathleen Olmstead
Illustrasi      : Eric Freeberg
Penerbit      : Sterling Publishing Co., Inc.
ISBN          : 978-1-4027-6644-2

Karena belum pernah menemukan terjemahan asli dari “Moby-Dick” karya Herman Melville, maka pilihanpun jatuh pada buku ini, cerita ulang oleh Kathleen Olmstead. Dibeli tahun 2012 dan setelah menunggu selama empat tahun di rak, akhirnya baru dibaca tahun 2016. Walau masih dalam bahasa inggris tapi karena aslinya ditujukan untuk pembaca belia, mungkin setaraf SD di negerinya, maka dengan kemampuan bahasa inggris saya yang memprihatinkanpun, saya masih bisa menikmati alur cerita tanpa harus mengerutkan dahi, frustasi  dengan tatabahasa yang jelimet.

Dengan sudut pandang orang pertama, Ishmael sebagai narrator mengisahkan pengalamannya sebagai anak buah kapal di sebuah kapal  penangkap paus bernama Pequod dengan sang kapten kapal, Ahab, yang terobsesi menangkap Moby-Dick, seekor paus sperma putih raksasa yang pernah merenggut kaki dan membuatnya cacat.

Dengan kehidupan para pelaut pada masa itu sebagai latar, ambisi kapten Ahab menjadi benang  merah dari kisah ini. Ada pula tokoh lain disekeliling inti cerita, sayangnya karena buku ini hanya cerita ulang yang memang dibuat ringan, sepertinya banyak terjadi pemadatan alur, maka sisi lain dari kisah ini tenggelam dalam cerita utamanya, kedekatan emosi dan persahabatan antara Ishmael dan Queequeg sepertinya kurang terekspos dengan baik, begitupun halnya sosok pribadi Sturbuck sebagai sisi yang rasional dan protagonist hanya menjadi figuran saja.

Sebagaimana umumnya novel klasik, banyak serpihan kisah yang mengandung hikmah, tentang kepemimpinan dan ambisi kapten Ahab, loyalitas dan proesionalisme Starbuck, ataupun persahabatan dan kesetaraan antara Ishmael dan Queequeg.
Karena ada rentang zaman dan jurang budaya dari masa novel ini ditulis hingga kini, dibutuhkan kearifan pembaca, terutama bimbingan dari dewasa untuk pambaca belia. Seperti dalam “Robinson Crusoe”nya Daniel Defoe yang menggambarkan ras kulit hitam hanya sebagai komoditas dan begitu superiornya kulit putih, buku ini pun masih mewajarkan perburuan paus, meskipun Herman Melville menggambarkannya sebagai mahluk buas yang anggun. Ada pertentangan batin Ishmael walaupun tak berlarut-larut saat melihat mamalia yang terancam punah ini dibantai.

Layak direnungkan bagaimana dendam dan obsesi Kapten Ahab yang begitu membutakan. Bagaimana Pequod berlayar mengarungi lautan dari Nantucket, Amerika ke pesisir Portugal hingga perairan selatan Singapura dalam pencarian dan  pengejaranya hanya untuk menyongsong akhir yang tragis.