Rabu, 20 November 2013

LOLITA, oleh Vladimir Nabokov



Judul               : LOLITA
Penulis             : Vladimir Nabokov
Penerjemah      : Anton Kurnia
Penerbit           : Serambi
Cetakan VII    : Mei 2009
ISBN               : 978 979 1112 86 4
529 Hlm

Novel ini ditasbihkan oleh sejumlah kritikus sastra sebagai salah satu novel terbaik sepanjang masa. Bercerita tentang Humbert Humbert (HH), seorang laki-laki paruh baya yang memiliki kecenderungan seksual menyimpang. Kisah HH terungkap dari tulisannya sendiri, yang lebih mirip sebuah pledoi yang dia susun selama dalam penjara dihari-hari terakhir masa hidupnya.

HH yang pedophilia itu bukan tidak menyadari akan kelainannya, bahwa secara sadar dia merasa orientasi seksualnya adalah sebuah kesalahan.  Hampir setiap tindakan yang didorong nafsu bejatnya itu dia kutuk dan sesali, bahkan diakuinya sendiri bahwa dirinya adalah seorang monster (hal. 485), namun hasrat yang tak terkendali atas sesosok gadis kecil tak sanggup dibendungnya. Ada saat dimana rencan-rencana busuknya begitu menakutkan dan membuat HH benar-benar terlihat psikopat, dilain waktu kadang rasa cintanya pada Lolita membuatnya tampak lembut dan penuh kasih.

Ada kejuta diakhir bagian cerita ketika HH mengetahui siapa yang merebut Lolita darinya, bagian ini memaksa saya bolak balik kembali jauh ke bab-bab sebelumnya karena jika tidak teliti, petunjuk yang diberikan pengarang begitu samar dan terlewatkan begitu saja. Yang menarik bagi saya dalam membaca buku ini, mungkin karena saking suksesnya penulis menggambarkan sosok HH, saya menikmati membaca alur ceritanya tapi begitu tergesa untuk menyelesaikannya, bukan karena ingin segera tahu akhir cerita, tapi karena saya merasa begitu tidak nyaman membaca akan kelakuan HH dalam cerita ini.

Selain ide cerita, buku ini penuh diksi yang memikat, puitis, begitu menggoda untuk dikutip. Nabokov melukiskan sebuah peristiwa dan objek menjadi begitu hidup juga dramatis.

“Setiap kali aku mengenainya dengan peluru-peluru lamban, kikuk dan buta miliku, ia akan berkata sambil terengah-engah, dengan aksen inggrisnya yang palsu, selagi tubuhnya tersentak-sentak menakutkan, bergetar, tersenyum puas, tapi terus berbicara, “Ah, sakit, cukup! Ah, sakit sekali teman! Aku berdoa semoga kau berhenti menembak.” Hal. 516.

Kalimat-kalimat yang begitu berbekas hingga menakutkan bahwa suatu saat kalimat itu meluncur dari mulut atau dalam sebentuk tulisan dan merasa barusaja  membuat sepotong kalimat brilian.

“…aku telah mengawetkan seraut wajah tak menyenangkan di dalam alkohol yang terbuat dari ingatan yang kabur.”  Hal. 495