Judul : LOLITA
Penulis : Vladimir Nabokov
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : Serambi
Cetakan VII : Mei 2009
ISBN : 978 979 1112 86 4
529 Hlm
Novel ini
ditasbihkan oleh sejumlah kritikus sastra sebagai salah satu novel terbaik
sepanjang masa. Bercerita tentang Humbert Humbert (HH), seorang laki-laki paruh
baya yang memiliki kecenderungan seksual menyimpang. Kisah HH terungkap dari
tulisannya sendiri, yang lebih mirip sebuah pledoi yang dia susun selama dalam
penjara dihari-hari terakhir masa hidupnya.
HH yang
pedophilia itu bukan tidak menyadari akan kelainannya, bahwa secara sadar dia
merasa orientasi seksualnya adalah sebuah kesalahan. Hampir setiap tindakan yang didorong nafsu
bejatnya itu dia kutuk dan sesali, bahkan diakuinya sendiri bahwa dirinya
adalah seorang monster (hal. 485), namun hasrat yang tak terkendali atas
sesosok gadis kecil tak sanggup dibendungnya. Ada saat dimana rencan-rencana
busuknya begitu menakutkan dan membuat HH benar-benar terlihat psikopat, dilain
waktu kadang rasa cintanya pada Lolita membuatnya tampak lembut dan penuh
kasih.
Ada kejuta
diakhir bagian cerita ketika HH mengetahui siapa yang merebut Lolita darinya,
bagian ini memaksa saya bolak balik kembali jauh ke bab-bab sebelumnya karena jika
tidak teliti, petunjuk yang diberikan pengarang begitu samar dan terlewatkan
begitu saja. Yang menarik bagi saya dalam membaca buku ini, mungkin karena
saking suksesnya penulis menggambarkan sosok HH, saya menikmati membaca alur
ceritanya tapi begitu tergesa untuk menyelesaikannya, bukan karena ingin segera
tahu akhir cerita, tapi karena saya merasa begitu tidak nyaman membaca akan kelakuan
HH dalam cerita ini.
Selain ide
cerita, buku ini penuh diksi yang memikat, puitis, begitu menggoda untuk dikutip.
Nabokov melukiskan sebuah peristiwa dan objek menjadi begitu hidup juga
dramatis.
“Setiap kali aku mengenainya dengan
peluru-peluru lamban, kikuk dan buta miliku, ia akan berkata sambil
terengah-engah, dengan aksen inggrisnya yang palsu, selagi tubuhnya
tersentak-sentak menakutkan, bergetar, tersenyum puas, tapi terus berbicara,
“Ah, sakit, cukup! Ah, sakit sekali teman! Aku berdoa semoga kau berhenti
menembak.” Hal. 516.
Kalimat-kalimat
yang begitu berbekas hingga menakutkan bahwa suatu saat kalimat itu meluncur
dari mulut atau dalam sebentuk tulisan dan merasa barusaja membuat sepotong kalimat brilian.
“…aku telah mengawetkan seraut wajah tak
menyenangkan di dalam alkohol yang terbuat dari ingatan yang kabur.” Hal. 495