Judul : Animal Farm
Penulis : George Orwell
Penerjemah : J. Fransisca
Penerbit : Fresh Book
207 halaman,
Literary awards Hugo Award
for Best Novella (1946), Prometheus
Hall of Fame Award (2011)
Sudah sejak tujuh
tahun lalu saya memiliki buku ini, entah berapa kali saya mengulang membacanya, random hanya pada sebagian tertentu saja, atau
dari awal sampai akhir lagi. Saya suka mulai dari jalan cerita, gaya
bertutur maupun penokohannya. Sederhana, tapi memiliki kedalaman arti. Oleh
karena itu, awal tahun ini saya kembali membaca dan menulis sudut pandang saya akan
buku ini.
Bagi saya,
“Animal Farm” lebih menyerupai parodi kehidupan manusia daripada sekedar sebuah
fabel. Parodi saat kehidupan berputar dan sejarah berulang, dimana rezim bangkit dan runtuh setiap harinya.
Dengan sapaan
kamred, dengan slogan-slogan propaganda, entah memang itu tujuan George Orwell
atau tidak, pikiran saya langsung terasosiasi dengan penggulingan Ciang kaisek
dan terbentuknya RRC atau pada revolusi Bolshevik, atau bahkan mungkin bisa dimiripkan
dengan sejarah bangsa ini. Pengultusan sang pemimpin, pemberian penghargaan
pada dirinya sendiri sebagai sang pemimpin dengan bintang-bintang kehormatan, pemutarbalikan
fakta, pengkaburan sejarah, mengingatkan
saya pada kisah yang melibatkan sosok Mao atau Stalin, atau bahkan beberapa tokoh
sejarah di negeri ini, atau memang dimanapun sejarah selalu serupa, suram dan menyesakan.
Selalu ada titik
balik setelah penindasan yang begitu lama, saat secara serentak rakyat berontak
untuk menggulingkan tiran. Sekali lagi,
Animal farm adalah sebuah parodi, pertanian Manor dan tuan Jones adalah
simbol-simbol tiran. Diawali dari sebuah visi si Mayor tua, babi hutan dalam
buku ini. Lalu visi itu manjadi api yang menyulut perubahan, berkembang menjadi
sebuah pencerahan dan pergerakan untuk menentukan nasibnya sendiri. Tapi kemerdekaan
meminta tebusan dengan harga yang mahal, sebagaimana perubahan rezim dimanapun
didunia ini, revolusi selalu memakan anak-anaknya sendiri, dan saat semua
terwujud, kemerdekaan itu tidak semanis yang dibayangkan. Justru penindasan
kembali terjadi dan tiran baru telah lahir.
Mungkin kita
melihat semangat si Mayor tua dalam diri tokoh-tokoh dunia yang dengan visinya mengubah
arah sejarah, dan lebih banyak lagi yang menyerupai Napoleon dan Snowball
sebagai tokoh dan tumbal revolusi. Sisanya adalah kita, domba-domba penurut,
Boxer kuda yang naïf atau Benjamin si keledai yang skeptis.
Mungkin
penindasan tidak akan pernah selesai, mengikuti roda jaman, carut marut politik
dengan babi-babi rakusnya yang korup akan selalu ada, memikirkannya saja
meletihkan, tapi tak perlu kita jengah, jalani saja peran kita sebaik-baiknya,
menjadi diri kita yang sesungguhnya, “Régime rise and fall every day, why
should we worry.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar