Judul :
The Catcher in the Rye (sesuai judul asi)
Penulis :
J.D. Salinger
Penerjemah : Gita
Widya Laksmini
Penerbit :
Banana, 2007. Cetakan ke-2
ISBN :
9799998603
Edisi :
Bahasa Indonesia
Paperback, 300 hlm.
Buku yang cukup
fenomenal menurut saya, bagaimana tidak? Lihat saja bagaimana review
dari laman situs goodreads menggambarkan buku ini, “Mark David Chapman meminta
John Lennon menandatangani kopi buku The Catcher in the Rye pada pagi hari
sebelum ia menembak mati bekas personel The Beatles itu beberapa jam kemudian.
John Hinckley, si penembak Presiden Ronald Reagan, mengaku mendapatkan
inspirasi aksinya dari buku ini selain kasmarannya pada Jodie Foster.” Di cover
belakangnyapun tidak kalah provokatif, tertulis “Mengapa buku ini disukai para
pembunuh?”
Terlepas dari
itu semua, walaupun saya memang sudah lebih dari satu kali membacanya, bukan
berarti saya memiliki potensi menjadi seorang pembunuh atau sebangsa psycopat.
Tahun 2008 saya membeli buku ini, saat pertama membacanya, penilaian saya,
isinya tidak lebih hanya umpatan dan makian saja, waktu itu saya tidak bisa
benar-benar menangkap isi cerita selain kemarahan dan kefrustrasian Holden
Caulfield, yang saya pikir memang sudah umum terjadi seorang bocah
tanggung seumuran dia, walau tidak ekstim, sewaktu muda saya juga pernah
mengalam masa-masa transisi dan dipenuhi keinginan untuk berontak seperti itu.
Walau pada saat
pertamakali membacanya saya tidak terlalu terkesan, toh tetap juga saya membaca
ulang buku ini. Di kali kedua (dan seterusnya) inilah saya lebih bisa memahami
arah kegelisahan si tokoh cerita, saya juga mulai bisa menikmati
komentar-komentarnya yang sarkastis. Holden
Caulfield yang impulsif dengan isi kepalanya yang selalu penuh dan
bergerak liar itu, setiap momen disekitarnya ditangkap oleh panca indranya dan menjadi
stimulus untuknya meresponnya dengan kalimat-kalimat yang kasar, kadang cerdas
dan lucu.
Maklum sebagai
buku penyandang National Book
Award Nominee for Fiction (1952), Teen Read
Award Nominee for Best All-Time-Fave (2010), ada begitu banyak ulasan mengenai buku ini, dari yang
menganggapnya hanya sampah sampai yang membahasnya begitu dalam, hingga ada
tafsir untuk segala sesuatunya, bukan hanya kemuakan Holden
Caulfield pada dunia para dewasa yang penuh kepura-puraan, atau
kegelisahannya pada dunia anak-anak yang terancam kemurniannya, bahkan sampai ke bebek-bebek yang menghilang
di danau atau warna topi berburu yang digunakan Holden
atau momen dimana dia memunguti piringan hitam Little Shirly Beans-nya yang pecah berkeping. Saya jadi
bertanya-tanya, apakah sejauh itu pula J.D. Salinger
merancang ceritanya, menyisipkan pesan disetiap kalimatnya, atau semua itu
berkembang secara sepontan dari persepsi masing-masing pembaca? Atau mungkin
saya tidak mampu menangkap cerita buku ini seutuhnya? Sebagai pembaca edisi
terjemahan, lebih sulit untuk merasakan jiwa dari sebuah cerita yang ditiupkan
oleh penulis. Saya mahfum kesulitan yang dialami penerjemah dalam mencari
padanan kata yang bisa menyajikan rasa sehingga pembaca mampu mengecap rasa
yang sama sebagaimana mereka yang membaca edisi aslinya.
Judul The catcher in the rye sendiri
berasal saat Houlden salah menangkap sebuah lirik yang semula dipikirnya adalah
sebuah lagu anak-anak (bab 16) ternyata setelah diberitahu oleh adik
perempuannya Phobe bahwa itu adalah sebuah kutipan dari puisi Robert Burns (bab
22), dia membayangkan dirinya sebagai penangkap di ladang gandum (The
catcher in the rye,)menyelamatkan anak-anak yang terjatuh ke jurang. Saya
kutip langsung dalam bahasa inggris hasil menjelajah di internet:
“Anyway, I keep
picturing all these little kids playing some game in this big field of rye and
all. Thousands of little kids, and nobody's around - nobody big, I mean -
except me. And I'm standing on the edge of some crazy cliff. What I have to do,
I have to catch everybody if they start to go over the cliff - I mean if
they're running and they don't look where they're going I have to come out from
somewhere and catch them. That's all I do all day. I'd just be the catcher in
the rye and all. I know it's crazy, but that's the only thing I'd really like
to be.” ― J.D.
Salinger, The
Catcher in the Rye
Ironisnya, bayangan romantisme Houlden
menjadi juru selamat anak-anak diladang gandum sebagai manifesto keinginannya
melindungi dunia anak-anak yang murni sangat bertolakbelakang dengan isi dari
puisi Robert Burns itu sendiri yang sesungguhnya bermakna mempertanyakan apakah
casual sex itu tak apa? disinilah keterbatasan edisi terjemahan sangat
terasa, kesalahpahaman Houlden menjadi
lebih membingungkan saat diterjemahkan, ditambah lagi bagi pembaca yang tidak
tahu puisi Robert Burns, yang ditulis dengan dialek skotlandia abad 18an pula
The Rye sendiri diinterpretsikan berbeda-beda, ada
yangmengartikannya mengacu pada sungai Rye dan bukan ladang gandum, jadi, Jenny
(lihat puisi diakhir tulisan) kembali dari sungai Rye (bukan ladang gandum)
dalam keadaan basah, padahal dia tidak menyeberangi sungai melainkan sehabis bercinta dengan seseorang di
sana. Nah loh… jadi panjang urusannya, puisinya sendiri butuh pembahasan
tersendiri, judulnya perlu pembahasan khusus, belum lagi psikoanalisis dari
Houlden, bagaimana dia mengasingkan diri dari lingkungannya yang akan tetapi secara
bersamaan haus akan kontak/hubungan dengan orang lain. Kenapa dia mencegah
dirinya untuk berinteraksi. Pergulatannya dengan dunia dewasa, sexualitas,
moral, perubahan, dan banyak lagi.
Itulah mengapa buku ini begitu banyak menyita perhatian dan dijadikan bahan
diskusi sastra atau psikologis remaja.
"Coming thro' the Rye"
(1796) by Robert Burns
Coming thro' the rye,
She draiglet a' her petticoatie
Coming thro' the rye.
O, Jenny's a' wat, poor body;
Jenny's seldom dry;
She draiglet a' her petticoatie
Coming thro' the rye.
Gin a body meet a body
Coming thro' the rye,
Gin a body kiss a body—
Need a body cry?
Gin a body meet a body
Coming thro' the glen,
Gin a body kiss a body—
Need the warld ken?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar